Tuesday, November 20, 2007

Alternatif Terakhir

Cerita ini adalah dramatisasi dari kisah nyata, dan merupakan satu dari beberapa cerita lepas dengan tokoh utama yang sama. Antara satu dan lainnya tidak harus dibaca berurutan.

Sebut saja namaku Paul. Aku bekerja disebuah instansi pemerintahan di kota S, selain juga memiliki sebuah usaha wiraswasta. Kali ini aku benar-benar kehabisan akal. Dua gadisku sedang keluar kota, satu lagi sedang mens, sedang yang terakhir entah dimana. Sudah empat hari hanya Lisa yang menemaniku diranjang. Lisa, si seksi kembang kantor yang akhirnya jatuh ketanganku, memang betul-betul tidak mengecewakan meskipun daya tahannya agak terbatas. Setelah empat malam berturut-turut "dihajar" tanpa istirahat, akhirnya gadis itu keok juga. Padahal tiap malam aku hanya minta jatah tiga-empat kali. Lima kali bila "serangan fajar" turut dihitung. Malam ini, setelah baru melayani dua kali, Lisa sudah tergeletak lemas diatas ranjang sambil merintih minta ampun kecapekan, sementara aku masih bersemangat. Apa boleh buat, terpaksa cadangan terakhir dipakai juga.

Ningsih tersentak bangun sambil mengerjapkan mata dalam silaunya lampu yang mendadak terang benderang. Tergesa ia merapikan dasternya yang sedikit tersingkap. Keheranan gadis itu melihat majikannya dengan bertelanjang dada dan lilitan handuk dipinggang sedang mengunci pintu kamarnya dari dalam. Diliriknya jam beker dimejanya, sepuluh menit lewat dari tengah malam.

Sebenarnya ini juga bukan kali pertama aku meniduri pembantuku ini , bahkan pelayanan gadis manis itu cukup memuaskan juga, tapi gengsi dong bila nanti aku ketahuan sering berduaan dengan pembantu. Namun hari ini gengsi harus mengalah kepada kebutuhan. Gadis ini berusia (hampir) 16 tahun, berwajah cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya sedikit sayu dan bibirnya kecil seksi. Seandainya kulitnya tidak sawo matang (meski bersih dan mulus juga), dia sudah mirip-mirip artis sinetron. Meski mungil (tingginya hanya 158cm), bodinya padat, sedangkan pantat dan payudaranya tidak terlalu besar, namun berdiri tegak menantang.

"Engg...ada apa ndoro? Kok malam-malam?"tanya Ningsih tak mengerti. "Tak ada rotan akarpun jadi!"desisku. Meski tak paham dengan perkataanku, Ningsih segera mengerti maksud kedatangan majikannya saat aku naik keatas ranjangnya yang sempit. Astaga, aku sama sekali tak mengira ranjang pembantuku begitu keras, hampir-hampir seperti papan. Tak masalah, toh aku tidak akan tidur diatas kasur keras ini, tapi diatas Ningsih. Pasti empuk dan hangat.

"Buka baju nduk!" perintahku, yang segera dituruti dengan malu-malu. Sambil duduk diatas bantal Ningsih yang setipis koran, aku menikmati pemandangan mengasyikkan didepanku saat Ningsih perlahan mencopot dasternya, lalu bra dan terakhir celana dalamnya. Selangkangan gadis itu tampak mulus tanpa sehelai rambutpun, Ningsih kini selalu mencukur habis rambut kemaluannya yang memang cuma sedikit. Tersipu gadis itu berlutut telanjang bulat didepanku.
"Emmmm...ndorooo...mau Ningsih emut nggak?"tanya gadis itu manja. Aku bersandar pada dinding kemudian melepaskan lilitan handuk dipinggangnya, merenggangkan kaki dan memberi isyarat agar gadis itu mendekat. Ini saatnya Ningsih sungkeman memanjakan ndoronya. Ningsih segera bersimpuh disisiku, mendekatkan wajahnya keselangkangan majikannya, lalu sementara satu tangannya memegang pangkal kejantananku, dengan hati-hati gadis itu mengecup ujung kejantanan yang sudah tegak itu. Kubiarkan Ningsih dengan lembut menjilati dan mengulum-ngulum kejantananku. Tanganku membalas meremas-remas payudara Ningsih yang kenyal dan tegak menantang, juga pantatnya yang bulat menggiurkan. Gadis itu tergelinjang setiap kali jemariku menyentuh bagian disekitar bibir kemaluannya atau bila aku terlalu keras meremas buah dadanya. Baru satu dua menit kuelus-elus daerah sensitifnya, bibir kemaluan gadis itu sudah basah terangsang. Cepat sekali Ningsih birahi. Dengan sedikit gemetar gadis itu mengulum kejantananku yang baginya begitu besar dan panjang, lalu menggerakkan kepalanya maju mundur. Tak sabar Ningsih ingin merasakan 'kebesaran' ku dalam tubuhnya. Gadis itu bahkan memasukkan kejantananku dalam-dalam sampai hampir menyentuh pangkal tenggorokannya, lalu menyedot-nyedot dengan kuat.

Tak tahan dengan perlakuan Ningsih, aku dorong kepala gadis itu menjauh, lalu kusuruh ia berbaring telungkup dengan pinggul terganjal guling, hingga pantatnya yang bulat kenyal sedikit menungging. Tanpa basa-basi lagi aku ikut menelungkup menindih tubuh Ningsih dari belakang. Gadis itu tersipu mengira aku ingin mencicipi lubang pantatnya. "Ih...., ndoro...kok disitu...? Ndorooo...jangan yang belakang !?" Tanpa memperdulikan rengekan manja gadis itu, aku segera mengangkangkan paha Ningsih, lalu menepatkan ujung kejantananku yang masih basah dengan ludah dibawah bibir kemaluan gadis itu. Dari info yang kudapat dan juga dari pengalaman, ini posisi yang cocok untuk gadis dengan kemaluan dangkal seperti Ningsih.
Ningsih terpekik saat kejantananku menerobos masuk dalam kemaluannya. Gadis itu tak menyangka majikannya bisa menggagahinya dari belakang, apalagi tusukan kejantananku langsung mengenai bagian kemaluannya yang sensitif, membuatnya tergelinjang nikmat. "Aaiihh...ahh...! Oouuh...nggh...ndoroo...!" Aku merasakan pantat gadis itu yang mengganjal dibawah perutnya berkedut-kedut saking nikmatnya. Harum shampo dari rambut gadis itu meruap bercampur bau tubuhnya yang wangi merangsang. Biar pembantu, Ningsih telaten merawat diri.

Dengan gagahnya kejantananku terus menerobos masuk hingga menyodok dasar kemaluan Ningsih yang hangat dan sempit. Sementara gadis itu menahan napas merasakan nikmatnya disetubuhi sang majikan. Dinding kemaluannya terasa meregang dijejali kejantananku yang terlalu besar baginya. Ningsih terpekik dan tergelinjang manja ketika aku mulai bergerak menikmati kehangatan tubuhnya. Kedua tangan gadis itu mencengkeram erat bantal tipis yang dipeluknya.
"Oouuhh...! Ooohhh!! Nnnh...ndorooo...!" Baru dua kali kejantananku menerobos masuk, gadis itu sudah merasa ingin pipis alias orgasme. "Ndoroooo....pipiiish...! Ampuuu...uunnhh!!!" tanpa bisa ditahan lagi sekujur tubuh telanjang Ningsih berkelojotan menahan nikmat yang luar biasa. Sambil berpegangan pada kedua pundak gadis itu, aku seperti menunggang kuda binal yang melonjak-lonjak tanpa kendali. Ranjang gadis itu berderit-derit berirama. Aku tak perduli lagi apakah ada orang yang mendengar pekikan Ningsih yang sedang melayaniku. Memang setiap kali kugagahi, Ningsih selalu mencapai orgasme dengan cepatnya, sebaliknya aku justru bisa bertahan lebih lama dibanding biasanya. Akibatnya tentu saja gadis imut-imut ini harus merasakan orgasme berkepanjangan sepanjang malam sampai lemas kehabisan tenaga.

Napas gadis itu kini terputus-putus oleh gelombang kegiuran yang melanda sekujur tubuhnya. Matanya yang bulat terbeliak dan bibirnya yang merah merekah dengan gemetar merintih memohon ampun sementara tubuh montoknya tersentak-sentak dibawah tindihanku. "Ahk!! Ammh...ampuuun!...Amphuu...uunn...! Ndoroo... aahhh...!" Aku menyelusupkan tangannya diantara bantal dan dada Ningsih, lalu mulai meremas kedua payudara gadis itu yang begitu kenyal dan hangat. Payudara gadis itu tidak terlalu besar, pas segenggaman tangan, namun padat, kenyal dan liat. Puting susunya terasa tegak mengacung. Tubuh montok telanjang dibawah tindihanku tergelinjang-gelinjang keras tiap kali kemaluannya ditusuk, membuat gadis itu merintih tertahan-tahan seiring deritan ranjang. Rambutnya yang sebahu awut-awutan karena kepala Ningsih menggeleng dan mengangguk tak karuan. Berulang kali pantat gadis itu tersentak naik saat dasar kemaluannya disodok, seolah ingin digagahi lebih dalam lagi. Gemas aku dibuatnya.

Kupegangi kedua bukit pantat Ningsih, kutekan dan kutahan agar tidak bisa bergerak, lalu kusibakkan kedua paha mulusnya agar terkangkang lebih lebar lagi. Dengan perkasa kemudian kutusukkan kejantananku sejauh mungkin dalam kemaluan gadis itu. Napas Ningsih tersedak dan tubuhnya berkelojotan saat kejantananku menyodok keras dasar kemaluannya. Saking nikmatnya, gadis itu sudah tak mampu lagi mengeluarkan jeritan manja dari bibirnya yang megap-megap. Ningsih merasa begitu tersiksa dibuat kebelet pipis berkepanjangan seperti itu namun ia tidak dapat memeluk tubuh majikannya yang menindihnya dari belakang. Gadis itu hanya dapat meremas bantal dan menarik sprei sambil tergelinjang-gelinjang tanpa daya.
"Ammh...! Aaamm...! Amph...! Puuu...uuunn!" sambil merintih minta ampun tubuh telanjang Ningsih tergeliat lemah, gadis itu sudah pasrah kehabisan tenaga. Padahal aku masih dengan semangat membara terus menghujamkan kejantananku dalam kehangatan liang kemaluan gadis itu. Tubuhku membentur pantat dan pinggul Ningsih, membuat gadis itu seperti melonjak-lonjak dalam tindihanku. Akibatnya punggung, pantat dan paha gadis itu menggesek tubuhku, sementara payudaranya berguncang seperti ingin lepas dari cengkeraman tanganku yang kekar, membuatku semakin bernafsu menggeluti tubuhnya.

"Ahk! Ahh....! Ammph...phunn...nnnhh...nnndhorooo...aaammhh...!" rintihan Ningsih terputus tiap kali kelembutan kemaluannya disodok. Tak terasa air mata gadis itu meleleh dipipinya, sementara ranjang dibawahnya berderit-derit seirama gelombang kenikmatan yang mendera selangkangannya. Ningsih dengan pasrah mencengkeram sprei yang sudah awut-awutan menahan kegiuran luar biasa yang menjalari sekujur tubuhnya tiap kali majikannya bergerak menikmati tubuhnya sambil meremas kedua payudaranya yang begitu peka. Gadis itu sudah seperti melayang diawan antara sadar dan tidak. Aku bertambah gemas karena gadis dibawah tindihanku kini tertelungkup tak berdaya dengan tubuh bersimbah keringat. Kejantananku dengan gagah semakin cepat menghentak keluar masuk kemaluan Ningsih yang hangat dan lembut, hingga bulatan pantat gadis itu berkedut berirama.
"Ummph....! Ammh...phuuunnnhh...! ....Ahk! .....Aaa...aahh!" rintihan Ningsih terputus-putus tiap tanganku memerah payudaranya. Sprei dibawah tubuh telanjang Ningsih sudah copot dari tempatnya dan awut-awutan dicengkeram gadis yang sedang didera nikmat itu. Gadis itu sudah terkapar lemas tanpa tenaga, sesekali tubuhnya tergeliat bila kejantananku menyodok dasar kemaluannnya yang peka. Ia juga hanya mampu merintih pasrah menahan nikmat tiap kali kuremas-remas kedua payudaranya.

Aku menarik keluar kejantananku dari kemaluan Ningsih, membuat gadis itu menarik napas lega karena mengira majikannya sudah selesai. Namun aku justru menarik pinggul gadis itu keatas hingga Ningsih kini dalam posisi bersujud dengan pantat menungging tinggi. Tanpa memberi kesempatan Ningsih bernapas, kembali kutepatkan kejantananku pada bibir kemaluan gadis itu dan dengan mantap kuhentakkan pinggul. Tubuh Ningsih tersentak dan kepala gadis itu mendongak kaget merasakan liang rahasianya kembali dipenuhi benda yang begitu besar dan hangat. "AHH! Aduu...uuh...! Ampun ndoro...! Auuu...!" pekik gadis itu tanpa daya. Hampir menangis Ningsih menyadari majikannya masih ingin menidurinya lebih lama. Begitu aku mulai menggenjotkan kejantananku menikmati legitnya kemaluan Ningsih, gadis itu berusaha menungging-nunggingkan pantatnya dan mengangkangkan pahanya agar kemaluannya lebih mampu menerima tusukanku. Namun aku menekan kedua paha gadis itu dengan tangan hingga rapat kembali dan kemaluan gadis itu kembali menjepit kejantananku.

Kini Ningsih benar-benar menangis terisak-isak tak mampu menahan kegiuran demi kegiuran yang melanda tubuhnya. Tubuhnya bergetar menahan nikmat tiap kali kejantananku menyodok kemaluannya. Saking lemasnya gadis itu, aku harus memegangi pinggulnya agar tidak melorot turun.Tiap kali kejantananku menyodok masuk, tubuh telanjang gadis itu terdorong maju karena pinggulku membentur pantatnya, membuat kejantananku sedikit tertarik keluar dari kemaluannya. Namun tanganku segera menarik pinggul Ningsih kebelakang, membuat kejantananku kembali menancap dalam hangatnya kemaluan gadis itu. Sehingga dengan sekali tusuk kejantananku bisa dua kali menyodok dasar kemaluan Ningsih. Gadis itu dengan airmata berlinang merengek memohon ampun. Tubuhnya yang bersimbah keringat terasa begitu lemas dilanda kegiuran demi kegiuran yang tak tertahankan.

Seperti mau pingsan gadis itu didera kegiuran demi kegiuran yang melanda tubuhnya. Napasnya yang sudah senen-kemis terputus-putus menahan nikmat Dengan bibir gemetar Ningsih menangis memohon ampun merasakan tusukan kejantananku dalam kehangatan kemaluannya semakin lama semakin cepat, sementara dasar kemaluannya akan tersodok dua kali tiap tusukan, ngilunya tak tertahankan. Gadis itu menyembunyikan wajahnya dalam bantal yang dipeluknya. Sedangkan disekujur tubuhnya terasa keringat menetes. Pinggulnya kini terasa perih dan panas akibat cengkeramanku yang seperti tang.. Ranjang tempat kami bergumul berderak-derak keras seperti mau rubuh. Dengan perkasa kuhujamkan kejantananku sejauh-jauhnya dalam kemaluan dangkal Ningsih yang hangat mencucup-cucup, sembari meremas kedua bulatan pantat gadis itu sekuat tenaga dan menariknya kebelakang. Ningsih tergerinjal lemah merasakan dasar kemaluannya disodok dengan kuat seperti mau ditembus lebih jauh lagi. Dengan nikmat aku semburkan sperma dalam cucupan hangat kemaluan Ningsih. Kemaluan gadis itu mencucup keras seolah ingin menyedot lebih banyak lagi.

Aku bangkit dari ranjang Ningsih dan kembali melilitkan handuk dipinggang, lalu membuka pintu dan keluar, meninggalkan gadis itu yang masih telanjang bulat tertelungkup diatas ranjang tak mampu bergerak dengan napas tersengal-sengal sambil terisak antara sakit dan bahagia. Setelah hampir setengah jam sejak aku meninggalkannya, baru Ningsih mampu bangkit dari tempat tidur dan berjalan tertatih-tatih kekamar mandi untuk membersihkan diri. Sebentar lagi subuh, dan setumpuk pekerjaan untuk sehari penuh sudah menantinya.

Kalau malam berikutnya Lisa masih belum sanggup mengimbangiku lagi, dan masih belum ada yang menggantikannya, tentu saja Ningsih akan kukunjungi lagi. Atau bisa juga kupanggil dia kekamar tidurku untuk membantu Lisa menghadapiku.

No comments: